Wacana baru ... Pemilihan Direktur 2008 - 2012 Secara Langsung (Bagian 3)
Pro dan Kontra tentang cara meloloskan ide Pemilihan Direktur Secara Langsung
Aku bersama teman-teman yang saat itu sepemikiran mulai melakukan langkah-langkah untuk bagaimana caranya dapat mewujudkan pola mekanisme pemilihan direktur secara langsung untuk periode 2008 – 2012.
Surat yang aku kirim ke Ketua Senat dengan atas nama wakil senat jurusan teknik elektro kemudian menjadi sebuah mode bagi jurusan / unit lain untuk melakukan hal yang sama walau tidak sama persis.
Demi melihat dinamika seperti itu sebagian kawan terutama yang ada di unit Korpri yang notabene sudah sejak dulu dapat stempel “uncontrollable community” lebih menegaskan dan mensinergikan gejolak ini dengan langkah-langkah proaktif dengan melakukan “driving” kepada semua unit untuk secara serempak melakukan hal yang sama. Disadari atau tidak kondisi ini akhirnya menyeret kami semua yang menjadi “driver” dinamika ini mau tidak mau menjadi “pengumpul” aspirasi yang diwujudkan ke dalam selembar dokumen yang ditandatangani oleh semua staf (dosen, teknisi dan administrasi) yang setuju dengan pola mekanisme pemilihan seperti dimaksud di atas.
Tidak kurang dari satu bulan teman-teman berjuang (bersama dengan teman-teman lain di tiap unit) akhirnya terkumpul juga tandatangan persetujuan yang digalang dari semua unit dengan tidak lupa mempertimbangkan prosentasi keabsahan untuk tiap unit.
Polnes memiliki 7 (tujuh) unit yang secara sah memiliki wakil senat. Enam unit adalah jurusan (Teknik Mesin, Sipil, Elektro, Akuntansi, Administrasi Bisnis dan Teknik Kimia). Tiap jurusan mempunyai dua wakil senat dari unsur staf pengajar dan semua Ketua Jurusan otomatis menjadi anggota senat dari unsur struktural (termasuk aku yang menjabat sebagai Ketua Jurusan Teknik Elektro).
Semua staf administrasi dan teknisi di bawah unit Tata Usaha yang hanya diwakili oleh seorang wakil senat (dalam hal ini adalah Kabag. TU).
Sedangkan semua Pembantu Direktur (I, II, III, dan IV) termasuk Direktur secara otomatis menjadi anggota senat. Praktis jumlah seluruh anggota senat Polnes adalah 24 orang.
Tandatangan sudah terkumpul, semua unit sudah terpenuhi keabsahan prosentasi jumlahnya, termasuk 15 orang anggota senat yang ada juga ikut membubuhkan tandatangannya.
Pertanyaannya sekarang adalah …. Mau diapakan dokumen tandatangan ini ?
Aku sempat mengusulkan untuk mengadakan pertemuan terlebih dahulu semua anggota senat yang ikut menandatangani untuk berdiskusi tentang keseriusannya mendukung aspirasi ini. Karena aku tidak mau terjadi lagi kondisi seperti Rapat Senat sebelumnya. Tetapi beberapa kawan tidak sepakat oleh karena dikawatirkan ada kecurigaan dari pihak-pihak tertentu (termasuk yang ikut menandatangani) akan ketidakbersihan “move” ini. Kekawatiran ini wajar terjadi oleh karena selama berjuang mengumpulkan tandatangan banyak suara-suara yang menyatakan bahwa “move” ini dilakukan hanya untuk menaikkan “seseorang” untuk menjadi Direktur mendatang oleh karena untuk kondisi saat ini sangat tidak mungkin orang lain bisa terpilih selain dari “calon” yang ada.
Dengan mempertimbangkan “kemurnian niat” akupun ikut saja apa yang diinginkan teman-teman walau dalam hati kecilku mengatakan “dengan cara mengumpulkan semua anggota senat yang setuju maka kecil kemungkinan kecurigaan itu tetap ada oleh karena kebetulan dari 15 anggota senat yang setuju terdiri dari komunitas-komunitas campuran yang notabene akan sangat tidak mungkin bisa bersepakat menaikkan seseorang”. Perlu diingat bahwa tujuan “move” ini adalah untuk membuka “gembok besar” yang selama dua periode ini sudah terpasang secara perlahan sehingga secara logis sangat tidak mungkin setiap orang dapat atau “berani” tampil bila tidak memiliki “link” atau sekedar ikut memegang “gembok”nya.
Kuakui, sebenarnya mulai saat menentukan langkah apa yang selanjutnya dilakukan, aku mulai kurang “bersemangat”, walau aku tetap berusaha berada di sekitar teman-teman yang sedang berjuang. Mungkin aku satu-satunya anggota senat yang benar-benar fokus pada masalah ini dan secara terbuka menyatakannya. Dan itu yang menjadi alasan teman-teman untuk setiap saat mendorongku agar segera melakukan langkah-langkah yang lebih “agresif”. Pola yang ini yang aku kurang sependapat. Sudah kukatakan bahwa rasanya tidak ada bedanya kita dengan mereka di sana jika kita membersihkan sesuatu yang kita anggap kotor dengan cara kotor pula. Andaikan harus terjadi “people power” maka biarlah itu terjadi. Tetapi bukan kita yang mengkondisikannya. Aku yakin jika masyarakat Polnes masih memiliki rasa keperdulian yang tinggi semuanya pasti bangkit. Pernyataanku ini kubuktikan dengan mengirimkan seluruh tandatangan yang berhasil terkumpul dari semua unit aku kirim ke Ketua Senat dengan tembusan ke seluruh anggota senat dengan atas nama karyawan Polnes yang kutandatangani bersama seorang kawan administrasi dari Korpri.
Dan semua masyarakat Polnes tahu. Yang menarik adalah …. Begitu jelasnya dokumen itu juga tidak mendapat respon dari lembaga, dan semua masyarakat Polnes tahu, dan semua “adem-adem” aja. Bahkan spanduk yang dipasang oleh “teman-teman seperjuangan” dengan bertuliskan “SUDAH BULAT TEKAD KAMI. PEMILIHAN DIREKTUR PERIODE 2008-2012 SECARA LANGSUNG” juga sekedar menjadi penutup pagar pintu masuk Polnes saja. Aku mulai tidak ‘sreg” dengan keadaan ini. Logikaku mengatakan, andai memang tandatangan yang terkumpul itu benar-benar atas hati nurani tiap karyawan Polnes (bukan karena faktor lain) bisa dipastikan tanpa komando pun mereka semua akan melakukan “sesuatu” setelah mengetahui kalau aspirasi tertulis seluruh staf Polnes dan sah secara hukum tidak mendapat tanggapan apapun dari lembaga.
Akhirnya, aku mulai surut dari dinamika. Bukan putus asa, tetapi aku merasa sia-sia untuk berjuang. Kawan-kawan yang sebagai “moving driver” bersamaku juga sering menanyakan kepadaku bagaimana langkah selanjutnya. Aku memang sengaja mengatakan kalau aku perlu instropeksi diri untuk beberapa saat.
Adalah sebuah lelucon bagiku jika dalam kondisi “gila”, “orang gila” yang maju, tetapi dalam kondisi “waras”, “orang waras” yang minum susu, sambil menyedot sebatang rokok bekas temannya.
Gejala ini kuamati dengan sangat cermat. Selama dinamika berlangsung, selama itu pula banyak terjadi perubahan drastis di Polnes yang tidak bisa kuceritakan secara detail di sini. Yang “gila” masuk “rumah sakit gila”, yang “waras” seolah mengasihani yang “gila” ditemani oleh beberapa orang yang dulunya “pura-pura gila” sekarang “waras” mendadak.
Aku sendiri bingung, tergolong “gila” atau “waras” kah aku ini. Yang jelas aku sekarang lebih banyak menjalani rutinitasku sebagai seorang Ketua Jurusan sekaligus tugas utama sebagai dosen yang sebelumnya banyak kutinggalkan gara-gara ingin jadi “pejuang”. Entah seperti Sri Bintang Pamungkas ataukah Amin Rais. Walau aku sendiri lebih menyukai gaya Gus Dur yang tampil apa adanya, tidak ada rasa kawatir, berpikir praktis dan logis, dan tidak bergantung pada siapapun untuk bersikap dan memutuskan sesuatu, dan tidak memaksakan diri (terserah orang bagaimana menanggapinya).
Aku mulai teringat dengan nasehat Guru sekaligus Orangtua angkatku, Abah Hari Tropodo Surabaya. Sebelumnya beliau pernah mengatakan kepadaku untuk segera melakukan langkah-langkah yang bertujuan untuk perbaikan keadaan apapun resikonya, beberapa saat kemudian beliau mengatakan lagi kepadaku agar meninggalkan urusan seperti di atas. Saat itu aku mengatakan kepada beliau bahwa aku sudah memulai sesuatu maka aku harus menyertainya hingga di titik akhir apapun hasilnya. Beliaupun mengatakan “kalo’ gitu jangan nanggung, habis-habisan saja, ancur-ancur sekalian”.
Terkadang aku terlalu sering melakukan sesuatu hanya sekedar untuk membuktikan nasehat Guru. Dan aku sadar kalau aku ini tidak layak digolongkan sebagai “murid yang taat”, walau aku tetap cinta kepada beliau, sampai kapanpun, dan apapun yang terjadi, seperti cinta seorang anak pada orangtuanya. Inipun aku masih belum mampu melakukannya dengan baik.
Untuk sekarang, aku hanyalah salah satu dari sekian banyak warga Polnes yang beraktivitas seperti hari-hari sebelumnya, tidak kurang tidak lebih. Sambil menanti apa yang akan terjadi esok hari dengan tetap berusaha memahami Kehendak Allah dari setiap kejadian yang kualami setiap saat di hari rutinku.
Walau secara jujur kukatakan, gejolak di dalam dada ini masih terus bergemuruh menanti sesuatu yang masih menjadi Rahasia Sang Maha Perkasa. Khususnya untuk kampung halamanku dimana aku menuai rizki Allah, ……. Polnes.
Untuk semua para sahabat karibku di Polnes (Politeknik Negeri Samarinda) yang masih perduli nasib Polnes ke depan dengan hati nurani yang jernih dan pikiran bersih.
“Kekalahanku adalah pada saat dilupakan …. Kemenanganku adalah pada saat terlupakan”
1 komentar:
nderek mampir..
Cak Hudha
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Beri Komentar