Serat Kalatidha Ronggowarsito
Serat Kalatidha karya Ronggowarsito yang tertuang dalam Serat Centhini jilid IV (karya Susuhunan Pakubuwono V) pada Pupuh 257 dan 258 menggambarkan situasi jaman yang terjadi hingga akhirnya muncul sang Satrio yang dinanti.
Kutipan Serat Kalatidha
Pupuh 257 (tembang 28 s/d 44) :
Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata.
- Para pemimpinnya berhati jahil, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati.
- Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita untuk membedakannya, para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.
- Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita dan banyak orang miskin beraneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.
- Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat, kejahatan / perampokan dan pemerkosaan makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang melintang di jalan-jalan.
- Alam pun ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan gempa bumi.
- Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi kerusuhan seperti perang yang tidak ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada rasa tenteram di hati.
- Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.
- Para penjahat maupun para pemimpin tidak sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan masalah / kesulitan.
- Para pemimpin mengatakan seolah-olah bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.
- Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu, makin lama makin menjadi kesulitan yang sangat, dan berbeda-beda tingkah laku / pendapat orang se-negara.
- Disertai dengan tangis dan kedukaan yang mendalam, walaupun kemungkinan dicemooh, mencoba untuk melihat tanda-tanda yang tersembunyi dalam peristiwa ini.
- Berupaya tanpa pamrih.
- Memberikan peringatan pada zaman yang kalut dengan bijaksana, begitu agar kejadiannya / yang akan terjadi bisa jadi peringatan.
- Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu zaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.
- Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan.
- Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur).
- Pada saat itu sudah dekat berakhirnya zaman Kaladuka.
Pupuh 258 (tembang 1 s/d 7) :
Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu sirna, sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata, ing kono raharjanira, karaton ing tanah Jawa, mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka.
- Atas izin Allah SWT, zaman Kalabendu hilang, berganti zaman dimana tanah Jawa/Indonesia menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan angkara murkapun mereda.
- Kedatangan pemimpin baru tidak terduga, seperti muncul secara gaib, yang mempunyai sifat-sifat utama.
- Datangnya tanpa sarana apa-apa, tidak pernah menonjol sebelumnya, pada saat masih muda, banyak mengalami halangan dalam hidupnya, yang oleh izin Allah SWT, akan menjadi pemimpin yang berbudi luhur.
- Mempunyai sifat adil, tidak tertarik dengan harta benda, bernama Sultan Erucakra (pemimpin yang memiliki wahyu), tidak ketahuan asal kedatangannya, tidak mengandalkan bala bantuan manusia, hanya sirullah prajuritnya (pasukan Allah) dan senjatanya adalah se-mata2 dzikir, musuh semua bisa dikalahkan.
- Semua musuhnya dimusnahkan oleh sang pemimpin demi kesejahteraan negara, dan kemakmuran semuanya, hidupnya sederhana, tidak mau melebihi, penghasilan yang diterima.
- Pajak orang kecil sangat rendah nilainya, orang kecil hidup tentram, murah sandang dan pangan.
- Tidak ada penjahat, semuanya sudah bertobat, takut dengan kewibawaan sang pemimpin yang sangat adil dan bijaksana.
Wallahu a'lam bissawaab.

0 komentar:
Beri Komentar