Geger di jaman Mahabharata
Patih Sangkuni mulai kepanasan pantatnya di saat duduk terlalu lama mendengarkan wejangan Resi Bisma kepada semua Keluarga Besar Mahabharata. Dursasana terlelap tak kuat menahan kantuknya sambil mengalirkan air liurnya yang sangat beraroma tinggi. Duryudana anak tertua dari Bala Kurawa berusaha tetap fokus karena di akhir acara ada yang dinantinya.
Sementara yang lainnya sudah tak karuan juntrungannya, sudah tidak perduli dengan tatakrama keraton Ngastinapura oleh karena sudah tak mampu menunggu begitu lamanya Resi Bisma berpidato dengan logat dan bahasa orang uzur yang sudah agak ngawur, kendur dan membuat baju luntur (karena iler mengalir).
Kata Bisma,".....Nah oleh karena dari itulah aku berpesan kepada kalian semua anak-anak muda yang hadir di sini, Bala Kurawa maupun Pandawa Lima, janganlah kalian saling memutus ikatan persaudaraan lahir dan batin antar sesama kalian hanya karena kursi yang sedang aku duduki sekarang ini...!!! Ingatlah peristiwa besar jaman Rama-Shinta. Hanya karena wanita, Rahwana tega mengorbankan semua saudara-saudaranya untuk merebut Dewi Shinta dari Sri Rama. Dan betapa mahasaktinya Subali sang resi berwajah kera yang telah berbuat aniaya pada saudaranya, Sugriwa, pada akhirnya harus berakhir juga di ujung panah Pasopati milik Sri Rama yang tak pernah berhenti mengejar sebelum sasarannya tumbang".
Tiba-tiba Duryudana memotong pidato resi Bisma,"Sang Resi, siapa di antara kami, Kurawa dan Pandawa, yang paling sakti dan digdaya serta siapa yang paling pantas menduduki kursi yang sekarang Resi duduki". Resi Bisma pun menjawab,"Untuk membuktikan siapa yang paling sakti dan digdaya di antara kalian adalah perkara mudah. Medan Kurusetra masih terlalu luas untuk kalian beradu kesaktian hingga terbukti siapa di antara kalian yang keluar sebagai pemenang. Tetapi untuk menjawab siapa yang lebih pantas menduduki singgasana ini aku tidak bisa...". Kontan Duryudana berdiri sambil berkacak pinggang berteriak lantang,"Kalau begitu percuma saja kita berjam-jam mendengarkan Sang Resi berkicau jika ternyata sampeyan tidak bisa menentukan siapa di antara kami yang pantas menjadi Raja Hastinapura.....!!!".
Bima yang dari tadi berdiam saja sambil bersandar di dinding istana langsung melompat persis di depan Duryudana, dan tanpa ba-bi-bu dia layangkan tinju ke muka Duryudana hingga terjengkang jauh menabrak Patih Sangkuni yang sedari tadi pelan-pelan berusaha keluar dari balairung istana. Seketika itu juga ruang pertemuan berubah menjadi medan laga kecil-kecilan.Mereka yang terlibat baku hantam tidak perduli lagi sedang berada di mana dan mereka sebagai apa, yang penting amarah, ego, harga diri, kedigdayaan dan sejenisnya bisa diperlihatkan dengan sejelas-jelasnya.
Resi Bisma sendiri pada akhirnya tidak sempat melerai perkelahian karena dia sendiri sedang sibuk hilir mudik berputar-putar tak karuan seperti ada yang dicarinya. Ternyata kursi singgasana yang dari tadi didudukinya tiba-tiba saja lenyap di saat Sang Resi berdiri hendak melerai perkelahian. Berteriaklah Destrajumena, murid Begawan Dorna yang juga sesakti dan sebesar Bima," Hoooooooyy.....!!!! Singgasana Hastinapura hilaaaaaaaang......!!!!". Kontan semua yang terlibat baku hantam berhenti total dengan posisi terakhir yang beraneka ragam dan tampak lucu-lucu bagi mereka yang sudah bukan anak kecil lagi. Tanpa dikomando lagi semuanya secara serempak mencari singgasana Hastinapura yang hilang.
Nun jauh di luar istana Hastinapura, Petruk,Gareng, dan Bagong lari terengah-engah ke arah menjauhi istana. "Wuiihh..berat juga singgasana ini...untung kita anaknya Semar yang setengah Dewa". Kata Gareng,"Iya Truk, untung ya....". "Untung ndas-mu ....!!! Kita ini sekarang adalah pelaku pencurian singgasana Hastinapura yang dikenal penuh dengan orang pintar, digdaya, sakti mandraguna. Trus singgasana ini mau kita buat apa ..??",gerutu Bagong. Dengan seenaknya Petruk menjawab,"Lah itu balai-balai di rumah kita Karang Tumaritis kan sudah reot. Kasian babe Semar nanti ndak bisa tidur ngorok. Iya toh....!!!!". Kontan saja Bagong dan Gareng menjawab,"Setujuuuuuu.....!!!!".
Di atas puncak bukit, Lurah Semar mengamati tingkah tiga anaknya dengan senyum-senyum dan geleng-geleng kepala."He..he..he...Ternyata anak-anakku lebih memahami makna berbakti kepada orang tua dan memegang amanah orang banyak dibanding mereke yang di sana .....".
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Beri Komentar