“Membangkitkan budaya maaf” dalam diri
Terdapat tiga kata dari judul di atas yang tiap-tiap katanya mengandung makna tersendiri. Namun bila digabung menjadi satu kalimat bisa jadi mengandung arti yang sangat berbeda dibandingkan bila kita secara langsung menggabungkannya dari makna masing-masing kata dimaksud. Mengapa bisa begitu ? Sederhana saja. Sudah lazim bila setiap orang yang membaca judul di atas rata-rata akan mengartikan sebagai “membiasakan diri untuk mudah meminta maaf dan mudah memaafkan”. Apakah memang begitu ? Marilah kita coba untuk membedahnya dengan cara “mendalami” makna dari setiap kata-katanya.
Membangkitkan
Kata dasarnya adalah “bangkit” yang dapat berarti bangun, berdiri. Dalam uraian singkat “membangun” dapat diartikan sebagai “mengusahakan sesuatu yang awalnya non-aktif menjadi aktif”. (Ribet yach….).
Kesalahan makna yang sudah meluas dari “membangkitkan” adalah : menciptakan, membuat, mengeluarkan dari yang tersembunyi/terpendam.
Budaya
Adalah perilaku sosial yang menjadi “kebiasaan” yang melekat dan mendarah daging. Sedangkan “kebiasaan” sendiri dapat diartikan sebagai “keadaan yang terkondisi secara sengaja maupun tidak”. Makna ini sangat berbeda dengan apa yang sering kita jumpai sehari-hari. Perilaku sosial adalah merupakan perilaku yang menggambarkan interaksi antar sekumpulan manusia. Apapun budaya yang sering kita kenal dan jumpai sesungguhnya adalah merupakan refleksi konkrit (hasil nyata) dari makna “budaya” yang sesungguhnya.
Kesalahan makna yang sudah meluas dari “budaya” adalah : kebiasaan, iklim, kondisi, keadaan
Maaf
Dapat diartikan sebagai “sesal”. Artinya, kata “meminta maaf” dapat diartikan sebagai “mengakui kesalahan dan menyesal”. Sedangkan kata “memaafkan” dapat diartikan sebagai “menerima pengakuan kesalahan dan sesal”. Makna sesungguhnya dari kata “maaf” adalah “sesal” yang timbul oleh karena adanya keadaan/kejadian dari akibat suatu perbuatan yang ditangkap oleh pancaindera secara jernih. Kemudian keadaan/kejadian tersebut dianggap menciptakan ketidaknyamanan, ketidakpantasan, ketidaklaziman bagi sekitarnya. Ringkasnya, makna “maaf” timbul dari akibat dan bukan dari sebab.
Kesalahan makna yang sudah meluas dari “maaf” adalah : pengakuan lisan atas perbuatan
Sekarang marilah kita coba untuk merangkai kata-kata di atas sesuai dengan makna yang telah diuraikan :
Membangkitkan budaya maaf
Makna dari gabungan perkata :
Mengaktifkan perilaku sosial yang berupa pengakuan atas penyesalan dari akibat yang tidak lazim/tidak nyaman/tidak pantas oleh karena suatu sebab/perbuatan.
Makna lazim :
Membiasakan diri untuk mudah meminta maaf dan mudah memaafkan
Bandingkan kedua uraian makna di atas. Memang tampaknya seperti sama. Akan tetapi bila dicermati dengan baik akan terdapat beberapa perbedaan yang mendasar adalah sebagai berikut :
- “Mengaktifkan” berarti sudah ada “sesuatu” yang sebelumnya non-aktif menjadi aktif. Sedangkan pada makna lazim terkesan seolah mengupayakan untuk “menciptakan”.
- Pada makna lazim tidak sedikitpun mengandung unsur perilaku sosial sebagai inti dari makna budaya, kecuali hanya sebatas pada usaha untuk menciptakan/mengkondisikan. Sedangkan perilaku sosial itu sendiri adalah merupakan salah satu karakteristik unik makhluk Tuhan yang bernama manusia.
- Pada makna lazim tampak yang dijadikan subyek adalah sebab/perbuatan, sedangkan pada makna gabungan kata yang menjadi subyek adalah akibat dari sebab/perbuatan. Pada makna lazim lebih bersifat subyektif oleh karena yang dinilai adalah perbuatan si pelaku. Sedangkan pada makna gabungan kata lebih obyektif oleh karena yang dinilai adalah akibat perbuatan si pelaku bagi sekitarnya yang mencerminkan perilaku sosial yang sesungguhnya.
Keywords :
- Membangkitkan bukan berarti menciptakan. Membangkitkan berarti mengaktifkan sesuatu yang sebelumnya non-aktif.
- Budaya bukanlah kebiasaan. Budaya adalah perilaku sosial yang menjadi karakteristik unik dari makhluk Tuhan bernama manusia dalam berinteraksi antar sesamanya.
- Maaf bukanlah “sesal” yang timbul dari sebab/perbuatan. Maaf adalah “sesal” yang timbul dari akibat suatu sebab/perbuatan.
- “Meminta maaf” bukan sekedar pengakuan lisan, akan tetapi pengakuan penyesalan atas akibat perbuatan kemudian semaksimal mungkin mengupayakan untuk tidak terjadi lagi. Akibat yang terjadi bukan berarti dilupakan, tetapi tetap akan tersimpan di memori otak untuk dijadikan sebagai “peringatan” di kemudian hari.
- “Memaafkan” bukan sekedar menerima “permintaan maaf”, akan tetapi menerima dengan apa adanya atas akibat perbuatan yang terjadi dan tidak mempermasalahkan di kemudian hari. Akibat yang terjadi bukan berarti diabaikan, tetapi tetap akan tersimpan di memori otak untuk dijadikan “peringatan” di kemudian hari.
Kesimpulan ... !!!
Wuihh….ngeri yach. Untung mas Don “tetap manusia”. Hidup manusia ….!!!



Be your self…….!!!
Wallahu a’lam bissawaab.

1 komentar:
ya begitulah
Beri Komentar