Hubungan otak kanan dan otak kiri
Seperti yang pernah dibahas pada artikel sebelumnya (silahkan klik di sini) bahwa segmen otak dibagi menjadi “otak kanan” dan “otak kiri”. Aktivitas manusia yang dipicu oleh logika dianggap telah mengaktivasi otak kanan. Sedangkan aktivitas manusia yang dipicu oleh naluri/firasat/imajinasi dianggap telah mengaktivasi otak kiri. Benarkah seperti demikian ? Ternyata tidak.
Pada hakekatnya hubungan antara otak kanan dan otak kiri seperti hubungan manusia dengan bayangannya sendiri. Tidak mungkin manusia bergerak sementara bayangannya tidak, begitu pula sebaliknya.
Harus diakui bahwa sudah banyak pakar di dunia telah melakukan berbagai riset tentang otak kanan dan otak kiri. Sebagian dari mereka telah menyimpulkan bahwa ada perbedaan struktur dan jumlah sel syaraf antara otak kanan dan otak kiri. Bahkan mereka juga sampai pada pengembangan kesimpulan empiris bahwa struktur dan jumlah sel syaraf antara otak kanan dan otak kiri menjadi pembeda yang mendasar bagi setiap suku bangsa. Misalnya saja bangsa arya (Jerman) dan wilayah eropa rata-rata memiliki otak kanan yang lebih besar dari otak kiri mereka. Sedangkan wilayah asia hingga afrika rata-rata memiliki otak kiri yang lebih besar dari otak kanan mereka. Kesimpulan ini bisa dianggap “ya” atau “tidak” tergantung seberapa optimal manusia mampu menterjemahkan potensi dirinya sendiri.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa pada hakekatnya hubungan antara otak kanan dan otak kiri manusia seperti layaknya manusia dengan bayangannya sendiri. Artinya, tidak mungkin otak kanan bekerja tanpa dukungan otak kiri, begitu pula sebaliknya. Konsep mutualisme, seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya (silahkan klik di sini) adalah merupakan ciri utama hubungan antar seluruh bagian tubuh manusia. Jika otak kanan saja yang bekerja sama artinya seperti manusia tanpa bayangan (sebagian ahli kebatinan mengartikannya sebagai tanda-tanda mendekati ajal….calon mayit…). Dan jika otak kiri saja yang bekerja sama artinya seperti bayangan tanpa manusia (tergolong makhluk ghaib…..).
Untuk lebih jelasnya ada baiknya kita bedah secara ringkas tentang “logika” dan “naluri”. Secara bebas, keduanya dapat diartikan seperti berikut :
Logika
Proses kompleks dan unik dari sekian banyak unsur kepastian yang menghasilkan suatu unsur kepastian juga. (Logis : pasti).
Naluri
Proses kompleks dan unik dari sekian banyak unsur ketidakpastian yang menghasilkan suatu unsur dugaan/perkiraan.
Jadi, logika lebih banyak difungsikan untuk memproses gejala-gejala yang mengandung unsur kepastian. Sedangkan naluri lebih banyak difungsikan untuk memproses gejala-gejala yang mengandung unsur ketidakpastian, ketidakmungkinan (mustahil) dan kemungkinan (probabilitas).
Ilustrasi singkat di bawah ini semoga bisa menjadi contoh yang mewakili makna dari kedua kata di atas.
Dari ilustrasi di atas membuktikan bahwa logika memiliki batas wilayah sejauh tangkapan pancaindera secara fisik. Sedangkan naluri/firasat memiliki batas wilayah sejauh tangkapan indera secara meta fisik. Artinya, apapun gejala metafisik yang mengandung unsur ketidakpastian dapat menjadi wilayah logika (fisik) pada saat tangkapan pancaindera telah mampu meluaskan wilayahnya.
Naluri/firasat yang dikembangkan hingga menjadi imajinasi, bila diteruskan dengan tahap-tahap pembuktian yang “cermat dan hati-hati” akan masuk pula ke wilayah logika. Sebaliknya, logika yang tidak diteruskan dengan tahap-tahap pembuktian yang “cermat dan hati-hati” akan menjadi sekedar sebuah imajinasi.
Mari kita coba mengamati perilaku bayi dari lahir hingga menjelang pasca balita. Semua akan mengakui bahwa bayi yang baru dilahirkan tentulah belum memiliki fungsi pancaindera yang sempurna. Bagaimana bayi bisa melewati masa pertumbuhannya ? Jawabannya : naluri. Dengan berjalannya waktu, naluri bayi akan secara perlahan (tapi pasti) mulai memasuki wilayah logika, seiring dengan mulai berfungsinya pancaindera.
Sayangnya, proses beralihnya wilayah naluri ke wilayah logika pada bayi telah diartikan salah oleh sebagian orang. Kata “beralih” bukan berarti “berkurang dari…” kemudian “menambah ke…”. Bila seperti demikian adanya bisa jadi suatu saat nanti entah di umur berapa, manusia akan kehilangan wilayah naluri oleh karena telah beralih ke wilayah logika. Bahwa pada hakekatnya Allah telah menitipkan segala pengetahuan bagi manusia dengan cara yang “multikompleks”. Bila disederhanakan dapatlah kita menganggap bahwa naluri adalah sebersih-bersihnya dan sesempurnanya indera bagi manusia (seperti layaknya bayi). Seiring berjalannya waktu, seharusnya manusia mampu menyeimbangkan potensi naluri dengan potensi logika, seperti proses bayi tumbuh dan berkembang. Bila kondisi ini berhasil dicapai maka tidak ada kata yang tidak mungkin. Maka layaklah hubungan antara otak kanan dan otak kiri kita sebut sebagai “akal jernih”.
Catatan penting….!!!!
Daripada pembahasan ini membosankan, langsung saja mas Don simpulkan dalam bahasa yang agak berbau sastra (cieee…..).
Naluri dan logika……..
Seperti manusia yang tidak terpisahkan dari bayangannya
Berjalan seiring tidak berpisah, walau berbeda seolah tiada beda
Matilah manusia…….
Di saat bayangan telah tiada, walau nafas masih mengalir
Tak mungkin hanya bayangan……
Kecuali dia adalah ghaib, walau dia manusia
Sempurnalah hidup……
Saat ada dan tiada berjalan seiring, berimbang pada kadarnya
Maka tiada yang tidak mungkin baginya
Jadi apa sih yang menjadi biang masalah di manusia ini ? Sederhana. “Bagaimana manusia menggunakan pancainderanya”. (Apa iya…masak sih…masak apa bu…).
Insya Allah tentang pancaindera akan dibahas secara khusus di artikel berikutnya (ngantuk nih…).
Be your self.....!!!
Wallahu a'lam bissawaab.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Beri Komentar